Sabtu, 30 November 2019

ANALGETIK

ANALGETIK




Analgetika adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem syaraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgetika bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit. Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala, yang fungsinya adalah melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan di dalam tubuh, seperti peradangan (rematik, encok), infeksi-infeksi kuman atau kejang-kejang otot. Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis, fisik, atau kimiawi yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator nyeri yang letaknya pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir, atau jaringan-jaringan (organ-organ) lain.
Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui saraf-saraf sensoris kesistem Saraf Pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar, dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, rasa nyeri timbul bila ada jaringan tubuh yang rusak, dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri. Dengan kata lain, nyeri pada umumnya terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata.
Ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron, dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Mediator nyeri antara lain mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa, dan jaringan lainnya. Nociceptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di system saraf pusat. Dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan yang hebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sinaps yang amat banyak melalui sum-sum tulang belakang, sum-sum tulang lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri. Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak.
Menurut Tjay dan Rahardja  (2007), berdasarkan kerja farmakologis analgetika dibagi dalam 2 kelompok besar, yakni :
1. Analgetik Perifer (non narkotik),
Analgetik ini terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.  Secara kimiawi, analgetik perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni:
1. Parasetamol
2. Salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat
3. Penghambat Prostaglandin (NSAID): ibuprofen
4. Derivat-derivat antranilat : mefenaminat, asam niflumat glafenin, dan floktafenin.
5. Derivat-derivat pirazolinon :aminofenazon, isopropil fenazon, isopropyl amino fenazon, dan metamizol
6. Lainnya : benzidamin (tatum)

Obat-obat ini mampu menghilangkan atau menghalau rasa nyeri, tanpa mempengaruhi sistem syaraf pusat atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretis dan/ atau antiradang. Oleh karena itu tidak hanya digunakan sebagai obat antinyeri, melainkan juga pada demam (infeksi virus/kuman, selesma, pilek) dan peradangan seperti rema dan encok. Obat-obat ini banyak diberikan untuk nyeri ringan sampai sedang, yang penyebabnya beraneka ragam, misalnya nyeri kepala, gigi, otot atau sendi, perut, nyeri haid, nyeri akibat benturan, kecelakaan (trauma). Untuk kedua nyeri terakhir, NSAID lebih layak. Pada nyeri lebih berat misalnya setelah pembedahan atau fraktur (patah tulang), kerjanya kurang ampuh.
2. Analgetik narkotik,
Analgetik ini mempunyai sifat analgetik dan hipnotik (menyebabkan kesadaran berkurang seperti bermimpi indah, dalam istilah sehari-hari disebut “fly”). Khususnya digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada kanker. Penggunaan untuk jangka waktu lama pada sebagian pemakai menimbulkan kebiasaan dan ketergantungan.
Menurut Tjay dan Rahardja (2002), atas dasar cara kerjanya obat-obat ini dapat dibagi dalam tiga kelompok yakni:
1. Agonis Opiat, yang dapat dibagi dalam alkoloida candu: Morfin, Kodein, Heroin, dan Nicomorfin.
2. Antagonis Opiat: Nalokson, Nalorfin, Pentazosin dan Buprenorfin. Bila digunakan sebagai analgetik, obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.
3. Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opiat, tetapi tidak mengaktifasi kerjanya dengan sempurna.

Menurut Widjajanti (1991), alkaloid golongan opium, misalnya :
a. Morfina
1. Sifat analgetik dari morfina berdasarkan penekanannya pada susunan saraf sentral yang disertai dengan perasaan nyaman, menghambat pernafasan dan dapat menimbulkan batuk.
2. Penggunaannya : untuk mengobati rasa sakit yang tidak dapat disembuhkan dengan analgetika antipiretik, misalnya pada kanker, menahan rasa sakit pada waktu operasi, dan sebagainya.
3. Kerja ikutannya : dapat mengakibatkan sembelit yang hebat, perasaan mual dan muntah-muntah, alergi (gatal-gatal) dan yang terutama adalah mengakibatkan gatal-gatal.
4. Morfina tidak boleh diberikan pada penderita radang hati atau asma, karena morfina menekan pusat pernapasan. Juga tak boleh diberikan kepada bayi. Pemberian morfina kepada orang tua dan anak-anak harus hati-hati, sebab mereka sangat peka.
b. Codein
1. Dapat menekan batuk dan sering digunakan sebagai obat batuk. Codein sering dikombinasi dengan asetosal, fanasetina dan cofeina untuk mengurangi rasa sakit yang tidak begitu keras
2. Kerja ikutannya berupa sembelit dan alergi
3. Dosis oral 8 – 65 mg, tiap 3-4 jam, tergantung pada kebutuhan penderita
c. Thebaina
1. Yang sering digunakan adalah HCl atau fosfatnya.
2. Oleh karena obat bius ini dapat mengakibatkan ketagihan dan merusak kesehatan masyarakat
3. maka pemakaian obat bius ini diatur oleh undang-undang obat bius dan diawasi secara ketat oleh pemerintah. 

Menurut Puspitasari (2010), Walaupun analgetik jenis ini dapat dibeli secara bebas, bukan berarti semua jenis NSAID ini aman dan pas untuk semua individu. NSAID digolongkan berdasarkan sifat kimianya, yakni :
1. Golongan narkotik (hanya dipasarkan secara bebas di Australia) : codein (biasanya dalam bentuk kombinasi dengan analgetik nonsteroid lain seperti parasetamol, asetosal atau ibuprofen ).
2. Golongan salisilat : asetosal/aspirin, piroksikam, fenilbutazon, asam mefenamat, ibu profen, diklofenak. Semua jenis obat dalam golongan obat ini bersifat sangat asam sehingga harus dihindari oleh penderita yang mempunyai gangguan di lambung dan usus (dispensia, gastritis/maag, ulkus/tukak peptikum). Keasaman yang sangat tinggi akan memicu, bahkan memperparah gangguan di lambung dan usus tersebut.
3. Golongan parasetamol. Hanya ada satu jenis yakni parasetamol. Parasetamol juga tidak selamanya aman, terutama bagi penderita yang telah memiliki gangguan di hati/hepar/liver. Penderita hepatitis, sorosis hepatic sebaiknya menghindari parasetamol jika tidak ingin heparnya makin rusak. Parasetamol jika dikonsumsi dalam jumlah besar akan menyebabkan rusak hingga kematian sel-sel dihepar.
4. Golongan dypyron: metampiron/antalgin. Antalgin ini selain memiliki sifat analgetik, juga menonjol sifat antispasmusnya. Spasmus adalah kejang otot yang menyertai nyeri. Namun antalgin ini juga memiliki efek samping mengganggu pembentukan komponen darah, seperti : sulinya darah menggumpal, anemia, penurunan trombosit. Penderita yang memiliki gangguan darah sebaiknya menghindari analgetik golongan ini.
5. Golongan lain : contohnya tramadol. Beberapa ahli menggolongkan tramadol sebagai jenis seminarkotik. Biasanya obat ini diberikan pada nyeri akibat trauma (kecelakaan patah tulang, pascaoperasi). Golongan penghambat enzim siklooksigenase 2 (COX-2) : PARECOXIB, CELEXOCIB, rofecoxib dan meloxicam. Karena merupakan obat yang baru saja ditemukan, biasanya dijual dengan harga sangat mahal. Analgetik golongan baru ini menghambat COX secara spesifik sehingga tidak menyebabkan iritasi lambung. 

Permasalahan :
1. Apa saja sediaan analgetik yang bisa dikombinasikan?
2. Bagaimana mekanisme asam mefenamat dalam mengatasi nyeri yang ditimbulkan pada saat haid?
3. Bagaimana mekanisme Asam salisilat sehingga dapat menyebabkan efek samping  asma?


Daftar pustaka
Tjay, T.H dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. Gramedia, Jakarta.
Widjajanti, V.N. 1991. Obat-Obatan. Kanisius, Yogyakarta.
Puspitasari, I. 2010. Jadi Dokter untuk Diri Sendiri. B First, Yogyakarta.

Jumat, 29 November 2019

HEMATOLOGI

HEMATOLOGI


Hematologi merupakan cabang ilmu kesehatan yang mempelajari darah, organ pembentuk darah dan penyakitnya, hematologi digunakan sebagai petunjuk keparahan suatu penyakit. Perubahan hematologi dan kimia darah baik secaran kualitatif maupun kuantitatif dapat menentukan kondisi kesehatan hewan. Sel dan plasma darah mempunyai peran fisiologis yang sangat penting dalam diagnosis, prognosis dan terapi suatu penyakit (Soetrisno, 1987). 
Hematologi adalah ilmu tentang darah dan jaringan pembentuk darah yang merupakan salah satu sistem organ terbesar dalam tubuh makhluk hidup. Darah membentuk 6%-8% dari berat tubuh total dan terdiri dari sel-sel darah yang tersuspensi di dalam suatu cairan yang disebut plasma. Tiga jenis sel darah utama adalah sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan trombosit. Cairan plasma membentuk 45%-60% dari volume darah total, sel darah merah menempati sebagian besar volume sisanya (Sacher dan Richard, 2000).
Darah merupakan suatu jaringan yang terdiri atas eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih), dan trombosit yang terendam dalam plasma darah cair. Darah beredar dalam system vascular, mengangkut oksigen dari paru dan nutrien dari saluran cerna ke jaringan lain ke seluruh tubuh. Eritrosit adalah korpuskel-korpuskel kecil kecil yang memberi warna merah pada darah. Eritrosit berkembang dalam sumsum tulang sebagai sel sejati. Trombosit adalah badan kecil tanpa nukleus dan tidak berwarna yang ditemukan dalam darah semua mamalia. Badan kecil ini berfungsi untuk pembekuan darah pada tempat cedera pembuluh darah dan berfungsi mencegah kehilangan darah yang berlebihan. Leukosit merupakan jenis sel darah putih yang memiliki nucleus dan tidak berwarna dalam keadaan segar. Jumlah leukosit dalam sirkulasi berkisar antara 5000-9000 per millimeter kubik darah (Bloom dan Fawcett, 1994).  

Proses pembekuan darah dengan tiga fase
1. Fase pertama.
Proses pembekuan darah manusia adalah pembekuan agregat pada trombosit sehingga menghentikan proses pendarahan sementara. Pada tempat luka tersebut nantinya trombosit akan mengikat kolagen pada tempat terjadinya luka di dalam permbuluh darah dan juga nantinya diaktifkan oleh thrombin yang terbentuk di dalam kaskade saat peristiwa koagulasi pada tempat yang sama. Nah, pada saat pengaktifan ini, trombosit akan mengalami perubahan bentuk karena bantuan dari zat fibrinogen dalam darah yang kemudian menjadikan trombosit menyumbat pembuluh darah yang robek tersebut.
2. Fase kedua.
Proses pembekuan darah selanjutnya adalah pembentukan jaring fibrin yang terikat dengan trombosit secara agregat sehingga menimbulkan sumbatan yang lebih stabil lagi dibandingkan dengan sumbatan yang pertama.
3. Fase ketiga.
Proses pembekuan selanjutnya yakni terjadi pelarutan baik secara pasial atau agregat pada hemastosis yang dilakukan oleh plasmin sehingga ini akan membuat penyumbatan menjadi lebih kuat lagi dibandingkan yang sudah terjadi sebelumnya. 
Antikoagulan adalah obat yang digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan darah. Antikoagulan diperlukan untuk mencegah terbentuk serta meluasnya trombus dan emboli, obat golongan ini juga diperlukan untuk mencegah bekunya darah in vitro pada pemeriksaan laboratorium dan transfusi. Antikoagulan oral dan heparin menghambat pembentukan fibrin dan digunakan secara profilaktik untuk mengurangi insiden tromboemboli terutama pada vena. Kedua macam antikoagulan ini juga bermanfaat untuk pengobatan trombosis arteri karena mempengaruhi pembentukan fibrin yang diperlukan untuk mempertahankan gumpalan trombosit. Pada trombus yang sudah terbentuk, antikoagulan hanya mencegah membesarnya trombus dan mengurangi kemungkinan terjadinya emboli, tetapi tidak memperkecil trombus.
Fibrinolisis merupakan kondisi pecahnya fibrin (salah satu agen pembeku darah yang diproduksi dalam darah sebagai produk akhir koagulasi). Darah juga mengandung enzim fibrinolitik yang berguna mecegah pembentukan gumpalan atau pembekuan darah pada area yang tidak terluka, sehingga tidak akan menghalangi aliran darah, dan juga enzim ini akan menghancurkan fibrin bila luka telah sembuh. Trombosis merupakan pembentukan gumpalan atau bekuan darah yang tidak normal, yang terjadi bila terdapat gangguan pada jalur pembekuan darah dan pemecahan fibrin. Obat yang dapat mengaktifkan kerja fibrinolisis dapat juga menyembuhkan penyakit seperti embolisme paru-paru, dan infraksi miokardial yang disebabkan karena adanya gumpalan darah yang menghalangi aliran darah.



Permasalahan :
1. Adakah factor yang mempengaruhi fibrinolisis?
2. Apa yang terjadi jika leukosit tinggi dan apa penyebabnya?
3. Bagaimanakah penanganan jika terjadi leukositosis?




Daftar Putaka

Bloom dan Fawcett. 1994. Buku Ajar Histologi. EGC, Jakarta.
Sacher, R. A. Dan A.M. Richard. 2000. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Lanoratorium. EGC,Jakarta.
Soetrisno. 1987. Diktat Fisiologi Ternak. Fakultas Peternakan Unsoed, Purwokerto.

Sabtu, 23 November 2019

ANTIKONVULSI


ANTIKONVULSI



Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria, atau berbagai manifestasi epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan (Mardjono dan Priguna, 2007). 
Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak. Secara pasti, apa yang terjadi selama kejang tergantung kepada bagian otak yang memiliki muatan listrik abnormal. Jika hanya melibatkan daerah yang sempit, maka penderita hanya merasakan bau atau rasa yang aneh. Jika melibatkan daerah yang luas, maka akan terjadi sentakan dan kejang otot di seluruh tubuh. Penderita juga bisa merasakan perubahan kesadaran, kehilangan kesadaran, kehilangan pengendalian otot atau kandung kemih dan menjadi linglung. 
Kejang yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi. Timbulnya parestesia yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai manifetasi epileptic. Tetapi suatu manifestasi motorik dan sensorik ataupun sensomotorik ataupun yang timbulnya secara tiba-tiba dan berkala adalah epilepsi (Mardjono dan Priguna, 2007).
Pada dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu (Wilmana dan Gan, 2007) :
1. Bangkitan umum primer (epilepsi umum)
a. Bangkitan tonik-konik (epilepsi grand mall)
b. Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)
c. Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan tonik, bangkitan klonik, bangkitan infantile)
2. Bangkitan pasrsial atau fokal atau lokal (epilepsy parsial atau fokal)
a. Bangkitan parsial sederhana
b. bangkitan parsial kompleks
c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
3. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II).

Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena adanya cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron disekitarnya., kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal. Kemudian, cetusan korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nukleus subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke focus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Setelah itu terjadi diensefalon (Wilmana dan Gan, 2007).
Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi dua fase, yakni fase inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca2+ dan Na+ serta hiperpolarisasi/ hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau ion K+. Fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang mendepolarisasi neuron di sekitarnya), akumulasi Ca2+ pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan pelepasan neurotransmitter), serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca2+ sehingga tidak terjadi inhibisi oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsy umum/epilepsy sekunder (Wilmana dan Gan, 2007).
Obat antikonvulsan terdiri dari beberapa jenis, yang meliputi:
Barbiturat. 
Obat ini menekan aktivitas sistem saraf pusat dan meningkatkan aksi gamma-aminobutyric acid (GABA) yang menghambat neurotransmitter, sehingga mencegah terjadinya kejang. Antikonsvulsan barbiturat dipakai dalam mengobati semua jenis kejang. Contoh obat ini adalah phenobarbital.
Penghambat carbonic anhydrase
Obat ini menghambat enzim carbonic anhydrase, sehingga mempengaruhi elektrolit dan keseimbangan asam basa pada sel. Hal ini dapat mencegah kejang. Selain kejang, obat ini digunakan sebagai diuretik dan mengatasi glaukoma. Contohnya adalah topiramate
Benzodiazepine
Obat ini bekerja dengan cara menekan sistem saraf pusat dan meningkatkan aktivitas GABA. Contoh obat ini adalah diazepam, clonazepam, dan lorazepam.
Dibenzazepine
Obat ini juga meningkatkan aktivitas GABA dan menghambat aktivitas natrium dalam sel. Contoh obat ini adalah oxcarbazepine dan carbamazepine.
Turunan asam lemak
Obat ini menghambat enzim penghancur GABA, sehingga meningkatkan konsentrasi GABA. Contoh obat ini adalah asam valproat (valporic acid).
Hydantoin
Obat ini menghentikan rangsangan sel saraf yang berlebihan saat kejang dengan menghambat aktivitas natrium dalam sel saraf. Contoh obat ini adalah phenytoin.
Pyrrolidine
Obat ini dipakai untuk pengobatan epilepsi dan bekerja dengan cara memperlambat transmisi saraf. Contoh obat ini adalah levetiracetam.
Triazine
Obat ini dapat menghambat pelepasan rangsangan neurotransmitter, glutamat, dan aspartate. Contoh obat ini adalah lamotrigine.
Analog gamma-aminobutyric acid (GABA)
Obat ini bekerja layaknya GABA dalam tubuh. Contoh obat ini adalah gabapentin.
Obat antikonvulsan lainnya, misalnya magnesium sulfat.



Permasalahannya :
1. Apa penyebab yang mendasari penyakit epilepsi ?
2. Penanganan andalan untuk epilepsi adalah dengan pemberian obat antikonvulsan dengan kemungkinan pemberian seumur hidup. Bagaimana Pemilihan penggunaan antikonvulsan ?
3. Jenis serangan epilepsi yang paling umum (60%) adalah konvulsi/kejang. Selain ini apa saja jenis serangan epilepsi umum yang sering terjadi ?









DAFTAR PUSTAKA
Mardjono, M dan S. Priguna. 2007. Neurologi klinis dasar. Dian Rakyat, Jakarta.
Wilmana, P. F dan S. Gan. 2007. Famakologi dan Terapi. Universitas Indonesia Press, Jakarta.


ANTIHISTAMIIN

Antihistamin adalah obat yang bekerja sebagai antagonis reseptor histamin yang ada, seperti reseptor histamin H1, H2, H3. Antagonis Reseptor H1 (AH1) menghambat efek histamin di pembuluh darah, bronkus dan otot polos, selain itu AH1 juga dapat mengobati reaksi hipersensitivitas (Wilmana dan Gan, 2007). 
Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asam amino histidin,  banyak terdapat pada tanaman dan binatang. Dalam organisme manusia terdapat dalam semua jaringan. Konsentrasi histamin tertinggi terdapat dalam paru-paru, kulit dan dalam saluran cerna. Histamin terdapat dalam sel mast dan leukosit basofil dalam bentuk tak aktif secara biologik dan di simpan pada heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan dari sel-sel pada reaksi hipersensitivitas, rusaknya sel dan akibat senyawa kimia (Mutschler,1991).
Pada otak, reseptor H1 dan H2 terletak pada membran pascasinapsis sedangkan reseptor H3 terutama di prasinapsis. Aktivitas reseptor H1 yang terdapat pada endotel dansel otot polos menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, dan sekresi mukus. Sebagian dari efek tersebut mungkin diperantai oleh peningkatan cGMP (cyclic guanosine monophosphate) di dalam sel. Histamin juga berperan sebagai neurotransmitter dalam susunan saraf pusat (Dewoto, 2009).
Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung dan beberapa sel imun. Aktivitas reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung, selain itu juga berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan flusing. Histamin menstimulasi sekresi asam lambung, meningkatkan kadar cAMP, dan menurunkan kadar cGMP. Sedangkan antihistamin H2 menghambat efek tersebut (Dewoto, 2009). 
Histamin memiliki efek sebagai berikut (Dewoto, 2009):
a. Kardiovaskular, dilatasi kapiler
Efek histamin yang terpenting pada manusia adalah dilatasi kapiler. Dengan akibat kemerahan dan rasa panas di wajah, menurunnya resistesi perifer dan tekanan darah. Afinitas histamin terhadap reseptor H1 amat kuat, efek vasodilatasi cepat timbul dan berlangsung singkat. Sebaliknya pengaruh histamin tersebut terhadap reseptor H2 menyebabkan vasodilatasi yang timbul lebih lambat dan berlangsung lebih lama, akibatnya pemberian AH1 dosis kecil hanya dapat menghilangkan efek dilatasi oleh histamin, dalam jumlah lebih besar dapat dihambat oleh AH1 dan AH2.

b. Permeabilitas kapiler
Histamin meningkatkan permeabilitas kapiler dan ini merupakan efek sekunder terhadap pembuluh darah kecil. Akibatnya protein dan cairan plasma keluar keruangan ekstra sel dan menimbulkan edema. Efek ini jelas disebabkan oleh peran antihistamin terhadap reseptor H1.

c. Tripel respon
Bila histamin disuntikkan intradermal pada manusia akan timbul tiga tanda khas yang disebut tripel respon dari lewis, yaitu:
1. Bercak merah setempat beberapa mm sekeliling tempat suntikan hal ini disebabkan dilatasi lokal kapiler, vena dan arteri terminal akibat efek langsung histamin. Daerah tersebut dalam satu menit menjadi kebiruan atau tidak jelas lagi karena adanya edema
2. Flare yaitu berupa kemerahan yang lebih terang dengan bentuk yang tidak teratur dan menyebar ± 1-3 cm sekitar bercak awal. Ini disebabkan oleh dilatasi arteri yang berdekatan akibat refluks akson
3. Edema setempat (wheal) yang dapat dilihat setelah 1-2 menit pada daerah bercakawal. Edema ini menunjukkan meningkatnya permeabilitas oleh histamin.

d. Pembuluh darah besar
Histamin cenderung menyebabkan konstriksi pembuluh darah besar yangintensitasnya berbeda antar spesies. Pada binatang pengerat konstriksi juga terjadi pada pembuluh darah yang kecil, bahkan pada dosis yang besar vasokonstriksi menutupi efek vasodilatasi kapiler sehingga justru terjadi peningkatan resistensi perifer.
e. Jantung
Histamin mempengaruhi langsung kontraktilitas dan elektrisitas jantung. Obat ini mempercepat depolarisasi diastol di nodus SA sehingga frekuensi denyut jantung meningkat. Histamin juga memperlambat konduksi AV, meningkatkan automatisitas jantung sehingga pada dosis tinggi dapat menyebabkan aritmia. Semua efek ini terjadimelalui perangsangan reseptor H1 dijantung, kecuali perlambatan konduksi AV yang terjadi lewat perangsangan reseptor H.

f. Tekanan darah
Pada manusia dan beberapa spesies lain, dilatasi arteriol dan kapiler akibat histamin dosis sedang menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik yang kembali normal setelah terjadi refleks kompensasi atau setelah histamin dihancurkan. Bila dosis histamin sangat besar maka hipotensi tidak dapat diatasi dan dapat terjadi syok histamin.

g. Otot polos non vascular
Histamin merangsang atau menghambat kontraksi berbagai otot polos. Kontraksi otot polos. Kontraksi otot polos terjadi akibat aktivasi reseptor H1, sedangkan relaksasi otot polos sebagian besar akibat aktivasi reseptor H2. Histamin menyebabkan bronkokonstriksi pada marmut walaupun dengan dosis kecil, sebaliknya histamin menyebabkan relaksasi bronkus pada domba dan trakea kucing.

h. Kelenjar ekokrin, kelenjar lambung
Histamin dalam dosis lebih rendah yang berpengaruh terhadap tekanan darah akan meningkatkan sekresi asam lambung. Pada manusia dosis menyebabkan pengeluaran pepsin dan faktor intrinsik castle bertambah sejalan dengan meningkatnya sekresi HCl. Ini akibatnya perangsangan langsung terhadap sel parietal melalui reseptor H2.

i. Kelenjar lain
Histamin meninggikan sekresi kelenjar liur, prankeas, bronkus dan air mata tetapi umunya efek ini lemah dan tidak tetap.

j. Ujung saraf sensoris, nyeri dan gatal
Flare oleh histamine disebabkan oleh pengaruhn pada ujung saraf yang menimbulkan refleks akson. Ini merupakan kerja histamin merangsang reseptor H1 diujung saraf sensoris.

k. Medula agrenal dan ganglia
Selain merangsang ujung saraf sensoris, histamin dosis besar juga langsungmerangsang sel kromafin medula adrenal dan sel ganglion otonom.
Antihistamin yang pertama kali digunakan pada awal tahun 1940, secara klinik berguna sebagai anti-alergi. Antihistamin generasi pertama merupakan obat yang paling banyak digunakan di dunia dan bermanfaat untuk meringankan gejala-gejala alergi dan influensa pada banyak penderita, dapat diperoleh di toko obat dalam bentuk kombinasi(Gunawijaya, 2000).
Aktivitas terpenting antihistamin adalah (Tjay dan Kirana, 2007):
1. Kontraksi otot polos bronki, usus dan Rahim
2. Vasodilatasi semua pembuluh dengan penurunan tekanan darah
3. Memperbesar permeabilitas kapiler untuk cairan dan protein dengan akibat udema danpembengkakan mukosa
4. Hiperskresi ingus dan air mata, ludah, dahak dan air mata
5. Stimulasi ujung saraf dengan eritema dan gatal-gatal.

Klorfeniramin maleat (CTM) merupakan golongan AH1 yang sering digunakan sebagai antialergi seperti urtikaria. Jika diberikan secara peroral, CTM memiliki bioavailabilitas yang rendah antara 25 - 50 % dikarenakan mengalami first pass metabolism. Efek samping dari CTM juga kurang disukai yaitu dapat menyebabkan kantuk, karena CTM merupakan AH1 sedatif. 
Penggologan antihistamin berdasarkan mekanisme kerjanya :
1. Antagonis H1
Antagonis H1 sering pula disebut antihistamin  klasik atau antihistamin H1, adalah senyawa yang dalam  kadar rendah dapat menghambat secara bersaing kerja histamine pada jaringan yang mengandung reseptor H1. Penggunaan  mengurangi gejala alergi karena musim atau cuaca, misalnya radang  selaput lendir hidung, bersin, gatal pada mata, hidung dan tenggorokan, dan gejala alergi pada kulit, seperti pruritik, urtikaria, ekzem, dan dermatitis. Selain itu antagonis H1 juga digunakan sebagai antiemetik, antimabuk, antiparkinson, antibatuk, sedative, antipisikotif dan anastesi setempat. Antagonis H1 kurang efektif untuk pengobatan asma bronchial dan syok anafilatik. Kelompok ini menimbulkan efek potensial dengan alcohol dan obat penekan system saraf pusat lain. Efek samping antagonis H1 antara lain mengantuk, kelemahan otot, gangguan koordinasi pada waktu tidur, gelisah, tremor, iritasi, kejang dan sakit kepala. Secara umum antagonis H1 digunakan dalam bentuk garam HCl, sitrat, fumarat, fosfat, suksinat, tartrat dan maleat, untuk meningkatkan kelarutan dalam air. Berdasarkan stuktur kimianya antagonis H1 dibagi menjadi enam kelompok yaitu :
1. Turunan Eter Aminoalkil
Stuktur Umum : Ar(Ar-CH2)CH-O-CH2-CH2-N(CH3)2
Contoh :
a. Difenhidramin HCl (benadryl)
b. Dimenhidrinat (Dramamim,Antimo)
c. Karbinoksamin HCl (Clistin)
d. Klorfenoksamin HCl (systral)
e. Klemestin Fumarat (Tavegyl)
f. Piperinhidrinat (Kolton)

2. Turunan Etilendiamin
Stuktur Umum : Ar(Ar’)N-CH2-CH2-N(CH3)2
Contoh :
a. Tripelenamin HCl (azaron,Tripel)
b. Antazolin HCl (Antistine)
c. Mebhidrolinnafadisilat (Incidal,Histapan).

3. Turunan Alkilamin
Stuktur Umum : Ar(Ar’)CH-CH2-CH2-N(CH3)2
Contoh :
a. Feniramin Maleat (Avil) 
b. Klorfeniramin Maleat (Chlor–Trimeton=CTM, Cohistan, Pehachlor)
c. Deksklorofeniramin Maleat (Polaramine,Polamac) 
d. Dimetinden Maleat (fenisitil)

4. Turunan Piperazin
Turunan piperazin mempunyai efek antihistamin sedan,dengan awal kerja lambat dengan masa kerja panjang ± 9 – 24 jam.
Contoh :
a. Homoklorsiklizin (Homoclomin)
b. Hidroksizin HCl (Iterx)
c. Oksatomid (Tinset).

5. Turunan Fenotiazin
Contoh :
a. Prometazin HCl (Camergen,Phenergen,Prome)
b. Metdilazin HCl (Tacaryl)
c. Mekuitazin (meviren)
d. Oksomemazin (Doxergan) 
e. Isotipenidil HCl (andantol)
f. Pizotifen hydrogen fumarat.

6. Turunan linya
Contoh :
a. SpiroheptidinHCl (Periactin, Ennamax, Heptasan, Pronicy, Prohessen)
b. Azatidin maleat (Zadine)


2. Antagonis H2
Antagonis H2 adalah senyawa yang menghambat secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor H2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung. Secara umum digunakan untuk penyakit tukak lambung dan usus. Efek samping antagonis H2 antara lain adalah diare, nyeri otot dan kegelisahan. Mekanisme kerja sekresi asam lambung dipengaruhi oleh histamin gastrin dan asetilkolin. Antagonis H2 menghambat secara langsung kerja histamin pada sekresi asam (efikasi intrinsic) dan menghambat secara langsung kerja histamin pada sekresi asam, yang dirangsang oleh gastrin atau asetilkolin Iefikasi potensiasi). Jadi histamin memiliki efikasi intrinsik dan efikasi potensiasi, sedang gastrin dan asetil kolin hanya mempunyai efikasi potensiasi.

Contoh :
a. Semitidin (Cimet, Corsamet, Nulcer, Tagamet, Ulcadine)
b. Ranitidin HCl (Ranin, Ranatin, Ranatac, Zantac, Zantadin)
c. Famotidin ( Facid, Famocid, Gaster, Ragastin, Restidin).





Permasalahan :
1. Bagaimana peran Histamin sebagai neurotransmitter dalam susunan saraf pusat? 
2. Seperti yang kita ketahui CTM adalah salah satu golongan AH1 yang digunakan sebagai antialergi yang memiliki efek samping yang kurang menyenangkan yaitu mengantuk jika diberikan secara peroral, nah bagaimana solusi jika CTM diharapkan tetap dapat digunakan sebagai antialergi namun tidak memberikan efek secara sistemik?
3. Mekanisme kerja sekresi asam lambung dipengaruhi oleh histamine, gastrin dan asetilkolin, nah bagaimanakah kerja histamine , gastrin dan asetilkolin tersebut terhadap sekresi asam lambung?








DAFTAR PUSTAKA
Dewoto, H. R. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. UI Press, Jakarta.
Gunawijaya, F. A. 2000. Manfaat Penggunaan Antihistamin Generasi Ketiga. Universitas Trisakti, Jakarta.
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat Edisi V. Penerbit ITB, Bandung.
Tjay, T. H dan Kirana R. 2007. Obat-Obat Penting Penggunaan dan Efek-EfekSampingnya Edisi V. PT Alex Medika Komputindo, Jakarta.
Wilmana, P.F dan G. S. Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi. Gaya Baru, Jakarta.


ANALGETIK

ANALGETIK Analgetika adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem syaraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi r...